King Leopold lahir pada tahun 1835. Ia merupakan pewaris takhta kerajaan Belgia satu-satunya. Masa lalu King Leopold itu tidak menunjukkan gerak-gerik bahwa dia akan menjadi seorang pembunuh. Dia adalah pangeran yang berperilaku normal. Sangat, sangat normal.
Leopold akhirnya naik takhta 30 tahun kemudian, tepatnya di tahun 1865. Dia dicintai rakyatnya karena Leopold dikenal sebagai pemimpin yang baik dan bijaksana. Beliau melaksanakan reformasi di beberapa daerah dan menerapkan sistem demokrasi. What could possibly gone wrong?
Yang salah adalah bagaimana Leopold menyikapi kesuksesannya sebagai Raja. Leopold sangat bangga dengan pencapaiannya, namun ia masih belum puas. Ia ingin melakukan ekspansi wilayah layaknya negara-negara tetangga, seperti Inggris, Perancis, dan Spanyol. Ketiganya merupakan negara kolonial yang mampu melakukan ekspansi hingga ke benua Asia dan Afrika. Ia juga melihat negara-negara tetangganya ini menjadi makmur dan sejahtera. Siapa yang tidak iri?
Leopold, yang merasa bahwa ia butuh suatu negara untuk dijajah dan dimanfaatkan sumber dayanya, memutuskan untuk mengirim pasukan demi melancarkan obsesinya. Ingat, obsesi Leopold, bukan obsesi warganya.
Awalnya Leopold berusaha menjajah dengan cara negosiasi mengenai pembagian kekuasaan atas Filipina bersama ratu Isabella II dari Spanyol. Sayangnya, negosiasi tersebut gagal.
Leopold yang mungkin kesal dan malu atas gagalnya rencana beliau menguasai Filipina, memutuskan untuk melakukan ekspansinya ke Afrika dan sasaran jajahannya adalang Kongo.
Kongo pada waktu itu belum terdengar namanya. Tidak ada yang tahu tentang wilayah itu. Barulah terdengar dan diperhatikan ketika ada dua orang petualang, bernama Dr. Livingstone dan Henry Stanley yang menjelajah wilayah yang disebutnya, the heart of darkest Africa.
Leopold ingin sebelum menjajah, dia dikenal sebagai seorang filantropis. Raja yang sungguh dermawan dan membiayai seluruh keperluan ekspedisi. Mereka melakukan ekspedisi yang cukup melelahkan. Bayangkan, harus membabat hutan yang panjang banget, untuk bisa masuk ke dalamnya. Maklum, wilayah ini kan belum pernah ada yang jajah. Jadi masih untouched. Ketika sampai disana, pasukan Belgia akhirnya melihat suatu perkampungan. Kampung tersebut dipimpin oleh kepala suku.
Awalnya, pasukan Belgia dan pemimpin suku di Kongo sulit untuk berkomunikasi. Penyebab utama adalah bahasa, karena suku asli tidak bisa berbahasa inggris.
Si pemimpin suku tidak mengerti bahasa Inggris. Sudah jelas. Dan semuanya sudah tahu. Maka dari itu, Tippu Tip berbohong mengenai isi suratnya. Rencana penjajahan dan penjarahan SDA tidak disebutkan.
Malangnya, ketika surat tersebut telah ditandatangani, disinilah awal mula terjadinya bencana bagi rakyat Kongo.
Siapa sih, masyarakat Kongo yang bakal menyangka bahwa mereka akan dijajah? Tidak ada. Mereka pikir maksud kedatangan pasukan Belgia itu baik.
Ternyata, keputusan menerima kedatangan Pasukan Kongo pada saat itu merupakan keputusan yang fatal.
Pemerintah Belgia gila-gilaan melakukan perdagangan gading gajah dan kerja paksa di kebun karet.
Gajah-gajah banyak yang dibunuh.
Para penduduk disuruh untuk kerja paksa.
Entah di kebun karet, tambang emas, berlian dan lain-lain. Semuanya dimonopoli oleh Leopold.
Di era penjajahan Leopold, wilayah Kongo dibagi menjadi per distrik. Nah, per distrik ini ditentukan kuota hasil kerja paksanya. Apabila satu distrik tidak bisa memenuhi target, maka akan mendapat hukuman.
Disinilah kekejaman mulai terjadi. Tiap distrik memberlakukan hukum mutilasi anggota tubuh bagi penduduk lokal apabila kuota tidak tercapai.
Sumber : Afican History |
Yang memutilasi mereka siapa? Pasti pasukan Belgia!
Bukan...!!! Bahkan lebih miris lagi
Leopold membentuk tentara lokal bernama Soldiers of Force Publique dan membayar mereka untuk memutilasi anggota tubuh para pekerja.
Di masa kekejaman ini pula, selama 25 tahun, 15 juta warga Kongo telah terbunuh secara sadis. Di masa penjajahan King Leopold II.
Seorang pendeta Katolik (yang nantinya akan mengabarkan kekejaman King Leopold II ini ke Eropa), membuat pernyataan seperti ini ketika melihat kekacauan yang terjadi di Kongo :
All blacks saw this man as the devil of the equator ... From all the bodies killed in the field, you had to cut off the hands. He wanted to see the number of hands cut off by each soldier, who had to bring them in baskets ... A village which refused to provide rubber would be completely swept clean. As a young man, I saw [FiƩvez's] soldier Molili, then guarding the village of Boyeka, take a net, put ten arrested natives in it, attach big stones to the net, and make it tumble into the river ... Rubber causes these torments; that's why we no longer want to hear its name spoken. Soldiers made young men kill or rape their own mothers and sisters.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar